Senin, 27 Januari 2014

Minggu, 26 Januari 2014

Inovasi Pembelajaran Seni Budaya

Insya Allah...pada tahun 2014 buku ini akan diterbitkan...




Mahir PTK dalam 30 Hari

Buku PTK ini juga sedang dalam proses penyelesaian. Semoga ada penerbit yang bersedia menerbitkannya...



Membuat MPI Itu Gampang!

Ini adalah buku karangan saya yang sampai saat ini masih dalam proses penyusunan. Semoga ada penerbit yang bersedia menerbitkannya....



Jumat, 24 Januari 2014

Foto Tradisi Asrah Batin Karanglangu-Ngombak



                                Judul          : Air Kendi Persahabatan
                                Lokasi       :  Desa Ngombak, Kedungjati, Grobogan
                                Tahun        :  2010



                                Judul          : Pengawal Tua
                                Lokasi       :  Desa Ngombak, Kedungjati, Grobogan
                                Tahun        :  2010



                                Judul          : Tandu Persaudaraan
                                Lokasi       :  Desa Ngombak, Kedungjati, Grobogan
                                Tahun        :  2010

Foto Tradisi Asrah Batin di Karanglangu-Ngombak


                                                Judul     :  Air Kendi Persahabatan
                                                Lokasi  : Desa Ngombak, Kedungjati, Grobogan.
                                                Tahun   : 2010



                                              

                                                Judul     :  Pengawal Tua
                                                Lokasi  : Desa Ngombak, Kedungjati, Grobogan.
                                                Tahun   : 2010




                                                Judul     :  Tandu Persaudaraan
                                                Lokasi  :  Desa Ngombak, Kedungjati, Grobogan.
                                                Tahun   :  2010

Foto Seri 1


                                              Judul         : Ini Hidupku
                                              Lokasi      : Jln. Pandanaran, Boyolali
                                              Tahun       : 2012





                                              Judul         : Rehat
                                              Lokasi      : Taman Bermain Kridanggo, Boyolali
                                              Tahun       : 2012

MENYEMAIKAN OTAK KANAN DI SEKOLAH



Pembelajaran di sekolah ternyata menyisakan ruang sunyi bagi kreatifitas, khususnya bagaimana sekolah mampu menciptakan pelajar-pelajar yang kreatif. Padahal sumbangan kreatifitas bagi bangsa ini tidaklah kecil. Kiprah para pemuda kreatif dengan ekonomi kreatifnya mampu menyumbang 7,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara ini pada tahun 2009. Bahkan sektor ini mampu menyerap lebih dari 7 juta tenaga kerja. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu bahkan menganggap penting ekonomi yang dimotori oleh kreativitas ini, karena dianggap sebagai sumber daya terbarukan dan mengandalkan ide sehingga tidak akan ada habisnya untuk dikembangkan di masa depan. Namun demikian, harapan ini akan pupus jika saja sekolah sebagai tempat pendidikan para pelajar kreatif tidak mendukung pengembangan kreativitas. Lebih parah lagi, jika sekolah malah mengkerdilkan arti kreatifitas dan membuat siswanya tidak kreatif. 


Bagaimana caranya?
Budaya sekolah mesti diarahkan untuk membangkitkan potensi kreatif para siswa. Guru-guru didorong untuk berani mengambil inisiatif kreatif dalam pembelajaran yang dilakukannya. Iklim yang mendukung siswa agar bisa menjadi lebih kreatif perlu dikembangkan seperti; siswa diberikan kebebasan dalam menyatakan pendapat dan perasaannya tanpa merasa takut mendapat ancaman dari guru. Fantasi dan imajinasi anak tidak diterima secara negatif, bahkan kedua kemampuan tersebut dibiarkan berkembang melalui pemberian fasilitas secukupnya. Sekolah mesti memperbanyak kegiatan-kegiatan kreatif yang melibatkan siswa sehingga mereka mampu menyalurkan hasrat kreatif mereka sekaligus melatih mereka untuk mengapresisai karya kreatif siswa yang lain.
Semangat dasar yang perlu dikedepankan dalam lingkungan sekolah adalah bagaimana pendidik bisa melihat siswa-siswi sebagai sebuah pribadi yang utuh dengan segala bakat, minat dan kemampuannya. Oleh karena itu, memandang siswa sebagai subyek akan lebih memberikan dampak positif dalam pengembangan kreatifitas daripada melihat mereka sebagai obyek.

SISWA BERJIWA WIRAUSAHA


Tahun 2008 Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah pernah meluncurkan program bernama Getuk Nasional atau Gerakan Tunas Kewirausahaan Nasional. Program ini dimaksudkan untuk memobilisasi remaja-remaja SMA agar menjadi wirausaha sekaligus menanamkan jiwa kewirausahaan sejak dini. Apa nilai pentingnya?
Umum diketahui, kesejahteraan penduduk di suatu negara sangatlah dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi yang dipicu oleh kiprah pelaku wirausaha. Dalam sebuah negara yang besar angka pelaku wirausahanya, tingkat pengangguran juga semakin rendah karena banyaknya lapangan pekerjaan yang mampu disediakan kaum wirausaha ini.
Menurut pengusaha sukses Ciputra, Indonesia pada saat ini baru memiliki sekitar 400 ribu wirausahawan atau sekitar 0,18 % dari total penduduk Indonesia. Sebagai perbandingan, di Singapura jumlah wirausahawan mencapai 8,5% dari jumlah penduduk, di Uni Eropa jumlah wirausahawan mencapai 8,0% sedangkan di Amerika Serikat 15,0%. Apabila di Indonesia terdapat wirausaha sejumlah 2% saja dari jumlah penduduk, maka jumlah pengangguran akan menurun secara signifikan. Bisa disimpulkan, upaya untuk menanamkan jiwa wirausaha sejak dini kepada siswa SMA di sekolah dalam jangka panjang akan memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan bangsa ini.

TANTANGAN DOMESTIFIKASI DAN BIOFILI

Mengapa dalam bahasa Indonesia tidak terdapat frasa “Bapak Pertiwi”, “Bapak Jari”, “Bapak Kota”, dan dalam satu tahun tidak ada satu haripun yang diperingati sebagai Hari Bapak? Tentunya sangat tidak lazim bila lantas dengan alasan bias gender frasa “Ibu Pertiwi”, “Ibu Jari”, “Ibu Kota” lantas diawali dengan kata “Bapak”. 

Ketidaklaziman penggantian frasa ini menunjukkan bahwa ada sebuah posisi maupun peran yang memang menjadi hak seorang ibu dan tidak bisa diganggu-gugat oleh peran seorang bapak. Penggunaan kata “ibu” pada frasa di atas menggaungkan nilai-nilai yang memang mencerminkan idealisasi peran seorang perempuan, baik dalam konteks domestik maupun publik. Ibu pertiwi misalnya, menjadi penanda (signifier) dari sebuah pentanda (signified) ke-ibu-an sebuah bangsa. Petanda inilah yang memuat aspek-aspek biofili dari seorang perempuan yaitu pemelihara, pengayom, pemberi kehidupan yang juga termaktub dalam istilah asah, asih, dan asuh. 

Renungan # 3

RENUNGAN…TENTANG RENUNGAN
 
Merenung? Yah…inilah akhirnya yang kulakukan saat ini. Ada kalanya kita mesti menelusuri kembali jejak-jejak kehidupan masa lalu. Bukan untuk menyesali ataupun mencari kambing hitam atas sebuah kegagalan, lebih untuk mengambil pelajaran atas segala yang telah kita lalui. Merenung akan membuat kita paham bahwa kehidupan kita bukan sepenuhnya milik kita. Sejarah kehidupan kita termuati oleh sumbangsih orang lain, baik kita sadari dan akui maupun tidak. Merenung akan kembali menyegarkan ingatan kita untuk kembali memamah kesadaran itu.
Sejarah masa lalu yang menyesakkan dada dan kita sumpah serapahi waktu itu, bisa menjadi rasa manis nan sukacita di masa kini karena kita sadar bahwa masa lalu itu ternyata membawa kebaikan pada masa kini. Bagaimana kita mengetahuinya? Dengan merenung.

Rabu, 22 Januari 2014

Renungan # 1


EMPATI…

“Sesuatu yang bagi sebagian orang lain hal yang biasa, bisa jadi menjadi luar biasa bagi yang lainnya. Suatu peristiwa yang bagi orang lain hanya sepele, bisa menjadi sesuatu yang maha penting bagi orang lain…”

Dahulu saya pernah bermimpi untuk bersekolah di SMA, banyak yang menganggapnya hal biasa bukan? Namun bagi saya yang hanya anak buruh tani kere, perlu perjuangan berdarah-darah selama tiga tahun untuk mencapainya. Dahulu waktu saya mesti bekerja dikarenakan usai lulus SMP tak bisa melanjutkan ke SMA, pernah bermimpi bisa bangun jam 06.00 pagi, biasa bukan? Namun bagi saya hal ini menjadi sesuatu yang luar biasa dikarenakan bila saya bangun jam 06.00 bisa berarti kehilangan pekerjaan.
Saya dahulu pernah bermimpi mempunyai sebuah sepeda kayuh untuk membantu memenuhi kebutuhan air keluarga dengan cara “ngangsu”, sepele bukan? Namun bagi saya tidak sesepele itu, jangankan membeli sepeda, untuk makanpun kami harus  berseling bekatul atau singkong. Terpaksa saya harus meminjam sepeda kayuh orang dewasa dimana saya harus mengayuh sambil berdiri. Itupun saya mesti membagi 1 dirigen air pada empunya sepeda, padahal perlu 2-3 km untuk mendapatkannya.

Renungan # 2



ANAK…

28 Januari 2010.

Itulah tanggal dimana sepasang kekasih yang bernama Wiranto dan Intan Yanuarita mengikatkan diri dalam mahligai perkawinan. Berharap menjadi sepasang kekasih abadi dalam bahtera rumah tangga yang penuh dengan berkah dan kedamaian. Seperti doa kebanyakan tamu yang berkujung, pasangan itu  berharap segera mendapatkan momongan tempat mereka nantinya mencurahkan kasih sayang. Gambaran anak yang lucu, menggemaskan, yang kelak akan bisa membanggakan orang tua mendominasi percakapan keseharian mereka. Ahhh…sebuah harapan yang semakin menyatukan kedua pasangan itu dalam surga kemesraan.
Satu bulan…dua bulan…tiga bulan, harapan itu tak kunjung berujung nyata. Aku bertanya-tanya dalam hati, “akulah penyebabnya?”. Apakah karena aku menikah pada usia yang tidak terbilang muda? Apakah karena Tuhan menghukumku karena kesalahan-kesalahan yang telah aku lakukan dahulu? Apakah karena aku memang tidak dipercaya untuk mempunyai keturunan?.

Tentangku

Wiranto, lahir di Salatiga 38 tahun yang lalu, dari rahim seorang perempuan tangguh bernama Supini bersanding pria pendiam bernama Kismo Suwito.Inilah...kisahku...



# Mimpi yang Terpental
            “Mak, aku ingin melanjutkan sekolah”, pintaku penuh harap suatu hari.
Emak lekat menatap. Semburat merah mengiring  segalur air mata.  “Sekolah le? Kamu tahu kita miskin, tegakah kamu…sedangkan untuk makan kita susah?”, suaranya lirih penuh duka. Getaran halus merambati pundak.  
Kucari bapak, setali tiga uang, kegagahan seorang bapak terbantai kemiskinan. Mata kuhunjam ke tanah pasrah. “Kemana kumeminta, kalau bukan mereka. Terlalu kecil kujual jasa pembayar uang sekolah. Wir, barangkali inilah kehidupan yang mesti kau jalani”.
Usai lulus SMP, kudipaksa  menerima pahit kenyataan tak bisa melanjutkan ke SMA idamanku. Sulit kupaham bahwa keinginan untuk sekolah saja menjadi suatu hal mustahil. Sementara temanku tak bingung karena orang tua mereka berlimpah harta. Sedang kedua orang tuaku hanya buruh tani, bergulat dengan rumput teki dan kotoran sapi.

Menjadikan Anak Didik Sebagai Obyek

 Akankah sistem sekolah saat ini memunculkan generasi yang gagap sejarah, gagu nilai, gegar identitas, dan bungkam dalam menyuarakan kebenaran? Jawabannya adalah ya, jika sekolah memperlakukan anak didik sebagai obyek. Meletakkan anak didik sebagai objek sama artinya dengan tidak melihat mereka sebagai subyek yang mempunyai ke-diri-an.
Sebagai objek, keberadaan anak didik hanya berhenti pada satuan nilai, data statistik, atau besaran nilai rupiah tertentu. Anak didik dianggap tak lebih dari komoditas dan obyek eksploitasi sekolah melalui berbagai macam pungutan atau program-program palsu.
Beragam isu  pemberdayaan, inovasi pembelajaran dan pencerahan pendidikan hanya menjadi wacana kosong tak berbobot saat anak didik diposisikan sebagai objek. Kebijakan kurikulum yang tidak jelas dan bersifat coba-coba turut menempatkan anak didik sebagai objek. Tak luput, mereka juga menjadi objek kekerasan epistemologis bernuansa kepentingan kala terjadi transfer nilai-nilai dan pengetahuan di sekolah.

Guru Baru, Anak Didik Baru


Setiap tahun selama hampir 7 tahun penulis mengajar, tiap menjelang Ujian Nasional (UN) banyak teman-teman guru yang mengeluhkan bagaimana anak didik terlihat santai dan kurang “serius” dalam belajar, terutama untuk mata pelajaran yang kelak diujikan. Terkadang muncul seloroh kesal bahwa disekolah penulis, yang butuh lulus UN bukan murid tetapi gurunya. 
Tak luput pula stempel “bodoh”, “malas”, “tidak bisa diatur” diberikan kepada mereka. Bahkan bagi beberapa guru yang mengalami tahap frustasi dengan santainya berkata, “biarkan saja mereka tidak lulus, toh mereka bukan anakku!”.
Kenyataannya, sekolah tempat penulis mengajar terletak sekitar 65 kilometer dari ibukota kabupaten. Tak ada sarana transportasi ke sekolah. Siswa yang mampu mengendarai sepeda motor, yang berkekurangan mesti berjalan kaki. Sayangnya, lebih banyak yang kurang mampu daripada mereka yang mampu. Kondisi jalan luar biasa parah, kabar guru atau siswa terjatuh sudah lazim didengar.