Rabu, 22 Januari 2014

Tentangku

Wiranto, lahir di Salatiga 38 tahun yang lalu, dari rahim seorang perempuan tangguh bernama Supini bersanding pria pendiam bernama Kismo Suwito.Inilah...kisahku...



# Mimpi yang Terpental
            “Mak, aku ingin melanjutkan sekolah”, pintaku penuh harap suatu hari.
Emak lekat menatap. Semburat merah mengiring  segalur air mata.  “Sekolah le? Kamu tahu kita miskin, tegakah kamu…sedangkan untuk makan kita susah?”, suaranya lirih penuh duka. Getaran halus merambati pundak.  
Kucari bapak, setali tiga uang, kegagahan seorang bapak terbantai kemiskinan. Mata kuhunjam ke tanah pasrah. “Kemana kumeminta, kalau bukan mereka. Terlalu kecil kujual jasa pembayar uang sekolah. Wir, barangkali inilah kehidupan yang mesti kau jalani”.
Usai lulus SMP, kudipaksa  menerima pahit kenyataan tak bisa melanjutkan ke SMA idamanku. Sulit kupaham bahwa keinginan untuk sekolah saja menjadi suatu hal mustahil. Sementara temanku tak bingung karena orang tua mereka berlimpah harta. Sedang kedua orang tuaku hanya buruh tani, bergulat dengan rumput teki dan kotoran sapi.


# Berjuang Meraih Mimpi
Kuputuskan berjuang melawan hidup. Tiga tahun dalam kesendirian, jauh dari orang tua dan saudara. Berbekal semangat mewujudkan asa yang terpental.

Tahun pertama,
bekerja di Bandung sambil menanti janji manis disekolahkan yang pada akhirnya berujung ingkar. Meski remuk hati dipermainkan janji, hidup harus berlanjut.

Tahun kedua,
bekerja di Kudus sebagai Debt Collector. Bukan untung yang kudapat, gaji bulanan terkuras menambal hitungan yang selalu minus. Dua tahun sudah kubekerja dan mimpi bersekolah masih kandas.


Tahun ketiga,
bekerja pada warga keturunan di sebuah toko roti. Walau pramuniaga, nyatanya aku mesti rangkap jabatan sebagai babu. Subuh menjalankan tugas rumah, pagi hingga sore menjelma manekin toko, lantas sore hingga malam bertugas sebagai agen SDSB.  Layaknya tahanan kubekerja; dijaga dua anjing besar garang. Usai menggadaikan kemerdekaan, tak terwujud mimpiku bisa sekolah. 
Aku pulang sebagai pecundang. Sekolah adalah barang mewah, tak layak bagiku merasainya. Di rumah kuhabiskan waktu mencari rumput kambing gaduhan, menimba air tandom umum bersepeda jengki sejauh 2-3 kilometer, membersihkan gubuk reyot  ukuran 5 x 5 meter berpenghuni 7 orang, mengganti bapak kala tak bisa kerja, dan kegiatan lain yang bisa kulakukan.

# Gusti Ora Sare (Tuhan Tidak Tidur)
Tak lama dirumah, tawaran menjadi pembantu di Yogyakarta datang. Dengan asa menipis, kuputuskan menerima. Pada suatu pagi tak terlupakan, setelah beberapa bulan bekerja, Tuhan menunjukkan kebesaran-Nya.  “Mas, mau sekolah apa tidak?”, sebuah kalimat ringan meluncur dari mulut sang majikan.
Di otakku, kalimat itu bak gelegar bom atom. Memecahkan kebekuan harapku, menyalakan padamnya pijar mimpi. Tak perlu waktu lama bagiku menganggukkan kepala, “Mau pak, saya mau bersekolah. Mau pak…”. Hal sepele bagi seseorang bisa jadi anugerah terbesar bagi lainnya. Duh…seandainya orang-orang semacam ini memenuhi bumi.

# Energi Mimpi
Setelah tiga tahun, jadilah aku bersekolah. Kulewatkan masa dengan prestasi dan kebanggaan. Kebanggaan yang bertahun-tahun ditelikung kemiskinan.
Kelulusan kujelang, mimpi besar kucanangkan. Aku harus menyelesaikan apa yang telah kumulai. Kubulatkan tekad meninggalkan rumah majikan dan pekerjaan sebagai pembantu.  Akibatnya, kehidupan menjadi semakin runyam.
Orang tuakupun belum beranjak dari statusnya sebagai buruh. Sepanjang masa akhir SMA, kebutuhan tak henti memburu. Tidak mampu membayar sewa kos, aku tidur di aula sekolah, sanggar Pramuka, juga di ruang OSIS yang gelap. Untuk makan terpaksa kumengemis  nasi bungkus pada karibku.
Bagaimana harus tidur, mandi, mencuci, dan aneka kebutuhan harian lain menjadi bagian penderitaan yang kuhadapi. Keterpaksaan memaksaku tangguh. Begitu hebat hidup mendewasakanku.
Kelulusanku dari SMA disertai dengan sebuah ujian hidup; diterima di UNY tanpa tes. Bagaimana aku mesti membayar? Siapa yang akan membatuku kali ini? Ahh…diriku sendirilah yang akan menolong! Setidaknya, itulah yang telah kulakukan hingga aku terus bertahan hidup.
Beberapa “dermawan” kusambangi, namun mereka acuh atas deritaku. Hingga koran lokal memuat surat yang kukirim. Tuhan kembali menunjukkan kebesaran-Nya. Seorang kaya membantuku menyandang status mahasiswa.

# Pembawa Mimpi
Kini aku seorang guru. Mengajar anak didik berlatar belakang sepertiku. Mestinya mimpiku menjadi mimpi mereka jua.
 

1 komentar:

  1. saya masih sangat ingat masa perjuangan bang Wiranto saat di UNY, saluuuuut banget bang! SUKSES SELALU :')

    BalasHapus