#
Mimpi yang Terpental
“Mak, aku ingin melanjutkan sekolah”,
pintaku penuh harap suatu hari.
Emak lekat menatap.
Semburat merah mengiring segalur air
mata. “Sekolah le? Kamu tahu kita miskin,
tegakah kamu…sedangkan untuk makan kita susah?”, suaranya lirih penuh duka.
Getaran halus merambati pundak.
Kucari bapak, setali
tiga uang, kegagahan seorang bapak terbantai kemiskinan. Mata kuhunjam ke tanah
pasrah. “Kemana kumeminta, kalau bukan mereka. Terlalu kecil kujual jasa
pembayar uang sekolah. Wir, barangkali inilah kehidupan yang mesti kau jalani”.
Usai lulus SMP, kudipaksa
menerima pahit kenyataan tak bisa
melanjutkan ke SMA idamanku. Sulit kupaham bahwa keinginan untuk sekolah saja
menjadi suatu hal mustahil. Sementara temanku tak bingung karena orang tua mereka
berlimpah harta. Sedang kedua orang tuaku hanya buruh tani, bergulat dengan
rumput teki dan kotoran sapi.
#
Berjuang Meraih Mimpi
Kuputuskan berjuang
melawan hidup. Tiga tahun dalam kesendirian, jauh dari orang tua dan saudara. Berbekal
semangat mewujudkan asa yang terpental.
Tahun
pertama,
bekerja di Bandung
sambil menanti janji manis disekolahkan yang pada akhirnya berujung ingkar. Meski
remuk hati dipermainkan janji, hidup harus berlanjut.
Tahun
kedua,
bekerja di Kudus sebagai
Debt Collector. Bukan untung yang
kudapat, gaji bulanan terkuras menambal hitungan yang selalu minus. Dua tahun
sudah kubekerja dan mimpi bersekolah masih kandas.
Tahun
ketiga,
bekerja pada warga
keturunan di sebuah toko roti. Walau pramuniaga, nyatanya aku mesti rangkap
jabatan sebagai babu. Subuh menjalankan tugas rumah, pagi hingga sore menjelma
manekin toko, lantas sore hingga malam bertugas sebagai agen SDSB. Layaknya tahanan kubekerja; dijaga dua anjing
besar garang. Usai menggadaikan kemerdekaan, tak terwujud mimpiku bisa
sekolah.
Aku pulang sebagai
pecundang. Sekolah adalah barang mewah, tak layak bagiku merasainya. Di rumah
kuhabiskan waktu mencari rumput kambing gaduhan, menimba air tandom umum bersepeda
jengki sejauh 2-3 kilometer, membersihkan gubuk reyot ukuran 5 x 5 meter berpenghuni 7 orang,
mengganti bapak kala tak bisa kerja, dan kegiatan lain yang bisa kulakukan.
#
Gusti Ora Sare (Tuhan Tidak Tidur)
Tak lama dirumah, tawaran
menjadi pembantu di Yogyakarta datang. Dengan asa menipis, kuputuskan menerima.
Pada suatu pagi tak terlupakan, setelah beberapa bulan bekerja, Tuhan
menunjukkan kebesaran-Nya. “Mas, mau
sekolah apa tidak?”, sebuah kalimat ringan meluncur dari mulut sang majikan.
Di otakku, kalimat itu
bak gelegar bom atom. Memecahkan kebekuan harapku, menyalakan padamnya pijar
mimpi. Tak perlu waktu lama bagiku menganggukkan kepala, “Mau pak, saya mau
bersekolah. Mau pak…”. Hal sepele bagi seseorang bisa jadi anugerah terbesar
bagi lainnya. Duh…seandainya orang-orang semacam ini memenuhi bumi.
#
Energi Mimpi
Setelah tiga tahun, jadilah
aku bersekolah. Kulewatkan masa dengan prestasi dan kebanggaan. Kebanggaan yang
bertahun-tahun ditelikung kemiskinan.
Kelulusan kujelang, mimpi
besar kucanangkan. Aku harus menyelesaikan apa yang telah kumulai. Kubulatkan
tekad meninggalkan rumah majikan dan pekerjaan sebagai pembantu. Akibatnya, kehidupan menjadi semakin runyam.
Orang tuakupun belum
beranjak dari statusnya sebagai buruh. Sepanjang masa akhir SMA, kebutuhan tak
henti memburu. Tidak mampu membayar sewa kos, aku tidur di aula sekolah, sanggar
Pramuka, juga di ruang OSIS yang gelap. Untuk makan terpaksa kumengemis nasi bungkus pada karibku.
Bagaimana harus tidur,
mandi, mencuci, dan aneka kebutuhan harian lain menjadi bagian penderitaan yang
kuhadapi. Keterpaksaan memaksaku tangguh. Begitu hebat hidup mendewasakanku.
Kelulusanku dari SMA
disertai dengan sebuah ujian hidup; diterima di UNY tanpa tes. Bagaimana aku mesti
membayar? Siapa yang akan membatuku kali ini? Ahh…diriku sendirilah yang akan
menolong! Setidaknya, itulah yang telah kulakukan hingga aku terus bertahan
hidup.
Beberapa “dermawan”
kusambangi, namun mereka acuh atas deritaku. Hingga koran lokal memuat surat
yang kukirim. Tuhan kembali menunjukkan kebesaran-Nya. Seorang kaya membantuku
menyandang status mahasiswa.
#
Pembawa Mimpi
Kini aku seorang guru.
Mengajar anak didik berlatar belakang sepertiku. Mestinya mimpiku menjadi mimpi
mereka jua.
saya masih sangat ingat masa perjuangan bang Wiranto saat di UNY, saluuuuut banget bang! SUKSES SELALU :')
BalasHapus