Rabu, 22 Januari 2014

Guru Baru, Anak Didik Baru


Setiap tahun selama hampir 7 tahun penulis mengajar, tiap menjelang Ujian Nasional (UN) banyak teman-teman guru yang mengeluhkan bagaimana anak didik terlihat santai dan kurang “serius” dalam belajar, terutama untuk mata pelajaran yang kelak diujikan. Terkadang muncul seloroh kesal bahwa disekolah penulis, yang butuh lulus UN bukan murid tetapi gurunya. 
Tak luput pula stempel “bodoh”, “malas”, “tidak bisa diatur” diberikan kepada mereka. Bahkan bagi beberapa guru yang mengalami tahap frustasi dengan santainya berkata, “biarkan saja mereka tidak lulus, toh mereka bukan anakku!”.
Kenyataannya, sekolah tempat penulis mengajar terletak sekitar 65 kilometer dari ibukota kabupaten. Tak ada sarana transportasi ke sekolah. Siswa yang mampu mengendarai sepeda motor, yang berkekurangan mesti berjalan kaki. Sayangnya, lebih banyak yang kurang mampu daripada mereka yang mampu. Kondisi jalan luar biasa parah, kabar guru atau siswa terjatuh sudah lazim didengar. 

Sebagian besar siswa berasal dari keluarga menengah ke bawah. Orang tua mereka juga banyak yang pergi ke kota besar untuk mencari uang. Kasus siswi hamil di luar nikah, hampir pasti terjadi tiap tahun sehingga menyebabkan mereka harus keluar sekolah. Input siswa yang masuk memiliki kualitas yang rendah. Tak ada separuh dari seluruh anak didik yang memiliki motivasi belajar. Mereka sekolah bukan karena “ingin”, tetapi karena “harus”.
Jika penulis mengaitkan antara harapan guru dengan kenyataan yang ada, tampak bahwa siswa hanya dilihat sebagai objek. Meletakkan anak didik sebagai objek sama artinya dengan tidak melihat mereka sebagai subyek yang mempunyai ke-diri-an. Sebagai objek, keberadaan anak didik hanya berhenti pada satuan nilai UN, data statistik kelulusan, atau besaran nilai rupiah tertentu.
Bagaimana persoalan keluarga yang mereka hadapi, kemiskinan yang mereka derita, kurangnya perhatian orang tua, menjadi isu yang tidak relevan dalam dunia persekolahan. Sekolah menentukan kriteria untuk menormalisasi siswa dari kelakuan-kelakuan yang “tidak normal”. Sedikit guru yang tahu dan “mau tahu” kondisi ke-diri-an mereka.
Secara umum, penempatan anak didik sebagai objek mewujud dalam proses pendidikan yang membatu menjadi institusi formal tanpa jiwa. Didalamnya terbangun relasi kekuasaan monologis guru terhadap anak didik. Mereka tak memiliki ruang publik untuk melapangkan imajinasi, kreasi, inovasi, dan menyemaikan pikiran-pikiran kritis. Sekolah menjadi lokus pengasingan anak terhadap dirinya sendiri dan juga lingkungan sosio-kulturalnya. Kasihan anak-anak miskin, mereka bersekolah dengan pengharapan akan adanya perubahan namun pada kenyataannya mereka justru semakin “dimiskinkan”. Adakah masa depan kemanusiaan di sekolah seperti ini?
Guru “Baru”
Sebagai subyek, anak didik menjadi individu yang dihargai haknya dan dianggap sebagai manusia yang unik serta berkemampuan khusus. Anak didik menjadi dirinya sendiri dan bukan menjadi jiplakan guru. Hadari Nawawi (1989) jauh-jauh hari mengingatkan bahwa anak didik adalah individu dengan totalitas kepribadian yang dinamis, sehingga harus diperlakukan sebagai subyek. Lantas guru “baru” seperti apa yang dibutuhkan?
Pertama, guru yang mampu mendidik dan memberi tauladan pada anak didik agar mereka saling menghargai sebagai individu yang unik. Mata pelajaran dijadikan sebagai medium nilai-nilai penghargaan dan tidak hanya menumpuk sebagai sampah ingatan.
Kedua, Guru yang memiliki paradigma baru dalam memaknai kesalahan atau kegagalan anak didik. Pandangan guru yang keliru dalam memaknai kesalahan anak didik rentan memunculkan kekerasan, pelecehan, dan penghakiman. Alih-alih menekan anak, guru harus mengajak anak duduk bersama, menelusuri kesalahan secara mendalam, membantu anak meletakkannya dalam kerangka yang benar, memberi tahu anak tentang pilihan dan konsekwensi serta membantunya mengatasi persoalan tersebut.
Ketiga, Guru yang melihat proses pendidikan dengan cakrawala luas. Tidak hanya berpusat di kelas, anak bisa dididik melalui pekerjaan, melalui kegiatan sosial, melalui partisipasi dalam kehidupan kultural, melalui tanggapan-tanggapan emosional, melalui hubungan antar manusia, melalui perjalanan dan olah raga, serta media lain yang membantu proses subyektivikasi anak.
Keempat, Guru yang sadar bahwa bukan mereka yang mendidik siswa, tetapi siswalah yang “mendidik dirinya sendiri”. Pengetahuan sekolah adalah pengetahuan orang-orang dewasa yang justru membentuk lingkungan sekolah (sebagai lingkungan buatan) menjadi asing bagi anak. Implikasinya, guru seminimal mungkin menggunakan “bahan” dari sumber-sumber luar dan menggunakan semua materi yang dialami anak. Ini akan mengembangkan kreativitas anak didik dalam memikirkan fungsi-fungsi mereka sendiri di luar konteks pengetahuan sekolah.
Akankah nantinya Kurikulum 20013 memunculkan generasi yang gagap sejarah, gagu nilai, gegar identitas, dan bungkam menyuarakan kebenaran? Jawabannya adalah ya, jika guru masih memperlakukan anak didik sebagai obyek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar