ANAK…
28 Januari 2010.
Satu bulan…dua bulan…tiga bulan,
harapan itu tak kunjung berujung nyata. Aku bertanya-tanya dalam hati, “akulah
penyebabnya?”. Apakah karena aku menikah pada usia yang tidak terbilang muda?
Apakah karena Tuhan menghukumku karena kesalahan-kesalahan yang telah aku
lakukan dahulu? Apakah karena aku memang tidak dipercaya untuk mempunyai
keturunan?.
Tak tega aku menyalahkan istriku. Wanita itu terlalu baik untuk disalahkan. Selama ini Ia begitu menderita atas kondisi ini, atas ocehan orang-orang yang tak mengerti (dan tak mau mengerti) tentang keadaan kami. Kami masih mencoba bersabar, sembari membantu mengasuh anak kembar adik kandungku. Barangkali saja keberadaan mereka bisa memancing kehadiran calon buah hati kami.
Tak tega aku menyalahkan istriku. Wanita itu terlalu baik untuk disalahkan. Selama ini Ia begitu menderita atas kondisi ini, atas ocehan orang-orang yang tak mengerti (dan tak mau mengerti) tentang keadaan kami. Kami masih mencoba bersabar, sembari membantu mengasuh anak kembar adik kandungku. Barangkali saja keberadaan mereka bisa memancing kehadiran calon buah hati kami.
Empat … lima … enam … tujuh …
delapan … sembilan … sepuluh … sebelas…genap satu tahun sudah usia pernikahan
kami. Tak ada kehidupan bersemayam di rahim istriku. Kami bingung, tak mengerti…Aku
menangis. Delapan tahun masa kecilku penuh dengan kemiskinan, tiga tahun aku
harus menunggu untuk bisa ke SMA, butuh 8 tahun agar aku dapat menuntaskan sarjanaku, butuh hingga usia 35 tahun agar aku
memperoleh wanita yang benar-benar mencintaiku apa adanya. Kini, aku harus
menunggu berapa tahun agar aku mendapatkan keturunan? Akhirnya pada bulan
ketigabelas, kami bulatkan tekad untuk memeriksakan kondisi istriku ke dokter
kandungan, berharap menemukan jawaban.
Inalillahi wa inailaihi
rojiun…Jawaban dokter membuatku lemas, membuat istriku menahan tangis. Ternyata
penantian kami akan menjadi lebih lama…
Menurut dokter, terdeteksi
seonggok Miom dengan diameter 11 cm. Benda inilah yang memupuskan harapan kami.
Lebih tak menentu lagi, kami dilarang melakukan operasi pengangkatan Miom
dikarenakan menurut dokter akan menyebabkan pendarahan besar. “Bisa-bisa, kalau
dokternya panik saat pendarahan, rahimnya nanti diangkat…”, katanya
meyakinkanku. Rahim diangkat? Tak bisa punya anak dong? Saat itu ingin rasanya
aku koprol sambil bilang wow seribu kali…
Langkah cepat kubicarakan dengan
Istri, pengobatan alternatif pilihannya. Jadilah istriku rutin berkunjung setor
pada seorang tabib seminggu dua kali. Selain dipijit (Masya Allah…baru aku tahu
bahwa penderita Miom maupun Kista tak boleh dipijit karena jika benda itu pecah
akan terjadi perdarahan dalam…fiuuhhh…) istriku juga diberi ramuan obat yang rasanya
bikin adem panas (jangankan rasanya, baunya saja sudah bikin flyyyy…). Singkat
kata, setelah beberapa bulan terapi kami mencoba USG untuk mengetahui sejauh
mana kesaktian pak Tabib (ehhh…padahal ini dilarang Tabibnya loo…). Kami
mencoba pada dokter yang berbeda (sekalian nyari second opinion gitchhuuu…),
hasilnya mengejutkan! Benda itu masih ada di tempatnya dengan ukuran yang sama.
Namun ada hal lain yang mengejutkan kami, dokter kedua menyatakan bahwa istriku
mempunyai kista (bukan miom, ehhh…kista sama miom beda too…) dan yang paling
penting, benda itu…BOLEH DIANGKAT dan TANPA PENDARAHAN BESAR (tidak seperti
kata dokter pertama). Wuiiihhh…dua dokter, dua diagnosa.
Bingung karenanya, kami
mendatangi dokter ketiga. Hasilnya Kista-Boleh Diangkat-Tanpa Pendarahan Besar.
Skor 2 lawan 1. Belum puas kami mendatangi dokter keempat hasilnya tak jauh
beda, Kista-Disarankan Diangkat-Resiko Sedikit. Skor 3 lawan 1. Karena jumlah
dokter kandungan hanya empat, kami coba kembali lagi pada dokter pertama.
Hasilnya? Skor 4 melawan 1, Kista-Harus Diangkat-Resiko Rendah (walaahhh…dokternya
sama, diagnosa awal sama akhir beda…Yah, kata Heraklitos semua pasti berubah,
karena yang tetap hanyalah perubahan itu sendiri…hehehe).
29 Desember 2010, terucap salam
perpisahan dari kami teruntuk kista. Sebuah operasi yang membekaskan sebentuk lintah
di perut istriku, kembali menyulut harapan. Kata orang kami harus menunggu dua
tahun agar dapat memiliki anak. Namun Allah berkehendak lain, hanya selang satu
bulan istriku memberitahuku bahwa ada kehidupan dalam rahimnya. Tak percaya rasaku…tapi
itulah kenyataannya. Kini, sosok bayi cantik telah hadir dalam dekapan tidur
malam kami.
Sahabat…karena peristiwa itulah
kami sangat menghargai sebentuk kehidupan bernama bayi, mengutuk keras ibu-ibu
palsu yang menelantarkan bahkan membunuh bayinya sendiri. Kami sadar bahwa
waktu penantian kami adalah sebuah harga yang pantas untuk bayi itu. Bagi
sahabat yang “lancar jaya” dalam memiliki anak, kami titip pesan “jangan lukai
hati kami dengan menyakiti mereka”. Perjuangan kami untuk memiliki bayi,
mengasah hati kami untuk menghargai keberadaan mereka meski tak memiliki. Bagi
sahabat yang masih menanti…jangan putus asa, waktu yang kalian lewati bersama
akan mengasah jiwa mulia kalian. Tuhan akan memberikan bayi emas untuk
orang-orang seperti ini. Mereka akan hadir, jika kedua orang tuanya masih
berengkuhan menyambutnya tak peduli lama waktu yang mesti ditunggu.
O ya, nama depan anakku adalah
AUFA. Nama itu kudapat dari sebuah buku yang artinya Tepat. Sahabat pasti paham
kenapa aku memberi nama itu bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar