Rabu, 22 Januari 2014

Renungan # 2



ANAK…

28 Januari 2010.

Itulah tanggal dimana sepasang kekasih yang bernama Wiranto dan Intan Yanuarita mengikatkan diri dalam mahligai perkawinan. Berharap menjadi sepasang kekasih abadi dalam bahtera rumah tangga yang penuh dengan berkah dan kedamaian. Seperti doa kebanyakan tamu yang berkujung, pasangan itu  berharap segera mendapatkan momongan tempat mereka nantinya mencurahkan kasih sayang. Gambaran anak yang lucu, menggemaskan, yang kelak akan bisa membanggakan orang tua mendominasi percakapan keseharian mereka. Ahhh…sebuah harapan yang semakin menyatukan kedua pasangan itu dalam surga kemesraan.
Satu bulan…dua bulan…tiga bulan, harapan itu tak kunjung berujung nyata. Aku bertanya-tanya dalam hati, “akulah penyebabnya?”. Apakah karena aku menikah pada usia yang tidak terbilang muda? Apakah karena Tuhan menghukumku karena kesalahan-kesalahan yang telah aku lakukan dahulu? Apakah karena aku memang tidak dipercaya untuk mempunyai keturunan?.
Tak tega aku menyalahkan istriku. Wanita itu terlalu baik untuk disalahkan. Selama ini Ia begitu menderita atas kondisi ini, atas ocehan orang-orang yang tak mengerti (dan tak mau mengerti) tentang keadaan kami.  Kami masih mencoba bersabar, sembari membantu mengasuh anak kembar adik kandungku. Barangkali saja keberadaan mereka bisa memancing kehadiran calon buah hati kami.
Empat … lima … enam … tujuh … delapan … sembilan … sepuluh … sebelas…genap satu tahun sudah usia pernikahan kami. Tak ada kehidupan bersemayam di rahim istriku. Kami bingung, tak mengerti…Aku menangis. Delapan tahun masa kecilku penuh dengan kemiskinan, tiga tahun aku harus menunggu untuk bisa ke SMA, butuh 8 tahun agar aku dapat menuntaskan  sarjanaku, butuh hingga usia 35 tahun agar aku memperoleh wanita yang benar-benar mencintaiku apa adanya. Kini, aku harus menunggu berapa tahun agar aku mendapatkan keturunan? Akhirnya pada bulan ketigabelas, kami bulatkan tekad untuk memeriksakan kondisi istriku ke dokter kandungan, berharap menemukan jawaban.
Inalillahi wa inailaihi rojiun…Jawaban dokter membuatku lemas, membuat istriku menahan tangis. Ternyata penantian kami akan menjadi lebih lama…
Menurut dokter, terdeteksi seonggok Miom dengan diameter 11 cm. Benda inilah yang memupuskan harapan kami. Lebih tak menentu lagi, kami dilarang melakukan operasi pengangkatan Miom dikarenakan menurut dokter akan menyebabkan pendarahan besar. “Bisa-bisa, kalau dokternya panik saat pendarahan, rahimnya nanti diangkat…”, katanya meyakinkanku. Rahim diangkat? Tak bisa punya anak dong? Saat itu ingin rasanya aku koprol sambil bilang wow seribu kali…
Langkah cepat kubicarakan dengan Istri, pengobatan alternatif pilihannya. Jadilah istriku rutin berkunjung setor pada seorang tabib seminggu dua kali. Selain dipijit (Masya Allah…baru aku tahu bahwa penderita Miom maupun Kista tak boleh dipijit karena jika benda itu pecah akan terjadi perdarahan dalam…fiuuhhh…) istriku juga diberi ramuan obat yang rasanya bikin adem panas (jangankan rasanya, baunya saja sudah bikin flyyyy…). Singkat kata, setelah beberapa bulan terapi kami mencoba USG untuk mengetahui sejauh mana kesaktian pak Tabib (ehhh…padahal ini dilarang Tabibnya loo…). Kami mencoba pada dokter yang berbeda (sekalian nyari second opinion gitchhuuu…), hasilnya mengejutkan! Benda itu masih ada di tempatnya dengan ukuran yang sama. Namun ada hal lain yang mengejutkan kami, dokter kedua menyatakan bahwa istriku mempunyai kista (bukan miom, ehhh…kista sama miom beda too…) dan yang paling penting, benda itu…BOLEH DIANGKAT dan TANPA PENDARAHAN BESAR (tidak seperti kata dokter pertama). Wuiiihhh…dua dokter, dua diagnosa.
Bingung karenanya, kami mendatangi dokter ketiga. Hasilnya Kista-Boleh Diangkat-Tanpa Pendarahan Besar. Skor 2 lawan 1. Belum puas kami mendatangi dokter keempat hasilnya tak jauh beda, Kista-Disarankan Diangkat-Resiko Sedikit. Skor 3 lawan 1. Karena jumlah dokter kandungan hanya empat, kami coba kembali lagi pada dokter pertama. Hasilnya? Skor 4 melawan 1, Kista-Harus Diangkat-Resiko Rendah (walaahhh…dokternya sama, diagnosa awal sama akhir beda…Yah, kata Heraklitos semua pasti berubah, karena yang tetap hanyalah perubahan itu sendiri…hehehe).
29 Desember 2010, terucap salam perpisahan dari kami teruntuk kista. Sebuah operasi yang membekaskan sebentuk lintah di perut istriku, kembali menyulut harapan. Kata orang kami harus menunggu dua tahun agar dapat memiliki anak. Namun Allah berkehendak lain, hanya selang satu bulan istriku memberitahuku bahwa ada kehidupan dalam rahimnya. Tak percaya rasaku…tapi itulah kenyataannya. Kini, sosok bayi cantik telah hadir dalam dekapan tidur malam kami.
Sahabat…karena peristiwa itulah kami sangat menghargai sebentuk kehidupan bernama bayi, mengutuk keras ibu-ibu palsu yang menelantarkan bahkan membunuh bayinya sendiri. Kami sadar bahwa waktu penantian kami adalah sebuah harga yang pantas untuk bayi itu. Bagi sahabat yang “lancar jaya” dalam memiliki anak, kami titip pesan “jangan lukai hati kami dengan menyakiti mereka”. Perjuangan kami untuk memiliki bayi, mengasah hati kami untuk menghargai keberadaan mereka meski tak memiliki. Bagi sahabat yang masih menanti…jangan putus asa, waktu yang kalian lewati bersama akan mengasah jiwa mulia kalian. Tuhan akan memberikan bayi emas untuk orang-orang seperti ini. Mereka akan hadir, jika kedua orang tuanya masih berengkuhan menyambutnya tak peduli lama waktu yang mesti ditunggu.
O ya, nama depan anakku adalah AUFA. Nama itu kudapat dari sebuah buku yang artinya Tepat. Sahabat pasti paham kenapa aku memberi nama itu bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar