Rabu, 22 Januari 2014

Menjadikan Anak Didik Sebagai Obyek

 Akankah sistem sekolah saat ini memunculkan generasi yang gagap sejarah, gagu nilai, gegar identitas, dan bungkam dalam menyuarakan kebenaran? Jawabannya adalah ya, jika sekolah memperlakukan anak didik sebagai obyek. Meletakkan anak didik sebagai objek sama artinya dengan tidak melihat mereka sebagai subyek yang mempunyai ke-diri-an.
Sebagai objek, keberadaan anak didik hanya berhenti pada satuan nilai, data statistik, atau besaran nilai rupiah tertentu. Anak didik dianggap tak lebih dari komoditas dan obyek eksploitasi sekolah melalui berbagai macam pungutan atau program-program palsu.
Beragam isu  pemberdayaan, inovasi pembelajaran dan pencerahan pendidikan hanya menjadi wacana kosong tak berbobot saat anak didik diposisikan sebagai objek. Kebijakan kurikulum yang tidak jelas dan bersifat coba-coba turut menempatkan anak didik sebagai objek. Tak luput, mereka juga menjadi objek kekerasan epistemologis bernuansa kepentingan kala terjadi transfer nilai-nilai dan pengetahuan di sekolah.

Penempatan anak didik sebagai objek mewujud juga dalam proses pendidikan di sekolah yang membatu menjadi institusi formal tanpa jiwa. Dimana didalamnya terbangun relasi kekuasaan monologis guru terhadap murid, tanpa ada ruang-ruang sela untuk meluaskan imajinasi, kreasi, inovasi, pikiran-pikiran kritis, dan pengebirian perkembangan alami anak. Sekolah menjadi tempat pengasingan anak terhadap dirinya sendiri dan juga lingkungan sosio-kultural sekitarnya. Tembok sekolah begitu kuat menghalangi proses subyektifikasi yang diharapkan mampu membawa angin segar pada masa depan kemanusiaan anak didik. Adakah masa depan peradaban di sini?

Melihat Anak Didik Sebagai Subyek
Dalam dunia pendidikan, sekolah menempati posisi sentral. Sekolah menjadi sebuah lingkungan dinamis tempat berlangsungnya proses pendidikan dan pengajaran terhadap anak didik. Disinilah nilai-nilai, pengetahuan, dan ketrampilan diteruskan kepada anak didik secara sistematis dan terencana. Guru-guru menempatkan dirinya sebagai medium organik yang menjadi penterjemah materi-materi abstrak dalam kurikulum dengan dunia kehidupan nyata anak didik. Masa depan kemanusiaan anak didik menjadi orientasi utama pembelajaran di sekolah. Anak didik menjadi individu yang dihargai haknya dan dianggap sebagai manusia yang unik serta berkemampuan khusus. Anak didik menjadi dirinya sendiri dan bukan menjadi jiplakan guru. Anak didik dipahamkan bahwa mereka adalah sepenggal narasi dalam sebuah kisah sosial yang lebih besar. Intinya, anak didik benar-benar dilihat sebagai subyek. Dalam situasi seperti ini, falsafah pendidikan learning to know, learning to do, dan learning to be yang dicanangkan oleh UNESCO dapat mengejawantah.
Pandangan progresif mengenai sekolah, dalam kaitannya dengan anggapan anak didik sebagai subyek, menempatkan lingkungan sekolah sebagai sebuah masyarakat mini yang mencerminkan interaksi sosial yang sehat, saling menghargai, toleran, partisipatif, humanis, dan demokratis. Tak heran jika Hadari Nawawi (1989) jauh-jauh hari menyampaikan  bahwa anak-anak yang bersekolah adalah individu yang merupakan totalitas kepribadian yang dinamis, sehingga harus diperlakukan sebagai subyek. Beranjak dari anggapan tersebut, Nawawi menyarankan perlunya ditumbuhkan pendidikan kebersamaan (togetherness education) di sekolah yang diselenggarakan guna meningkatkan kesediaan dan kemampuan anak-anak memahami dan menyadari kehadiran orang lain yang mempunyai hak sebagaimana dirinya, dimana setiap orang diperlakukan dan memperlakukan orang lain sebagai subyek.
Dalam relasi subyek-subyek ini guru harus mempunyai kompetensi dalam mendidik anak agar mereka bersedia saling menghargai dan saling menghormati tanpa merasa diinjak-injak haknya sebagai manusia. Guru berkewajiban memelihara dan membina hubungan manusiawi atau hubungan sosial yang efektif di kalangan murid-muridnya sehingga kekerasan dan pelecehan terhadap anak didik bisa dikurangi. Mata pelajaran yang ada disekolah harus dikemas sedemikian rupa sehingga tidak hanya menjadi sebuah pengetahuan yang kering akan nilai-nilai kebersamaan dan akhirnya menumpuk menjadi sampah ingatan.
Paradigma pendidikan baru yang menempatkan anak sebagai subyek membuat cara pandang terhadap kesalahan yang dilakukan oleh anak didik mengalami pergeseran revolusioner. Pandangan keliru dalam memaknai kesalahan anak didik rentan memunculkan kekerasan dan pelecehan. Kesalahan mesti dilihat sebagai salah satu bagian dari proses pembelajaran. Alih-alih menekan anak, guru harus mengajak anak duduk bersama, menelusuri kesalahan secara mendalam, membantu anak meletakkannya dalam kerangka yang benar, memberi tahu anak tentang pilihan dan konsekwensi serta membantunya mengatasi persoalannya tersebut. Tindakan diatas memang memakan proses,  namun dalam jangka panjang perlakuan seperti ini akan mematangkan kepribadian anak dalam kehidupan sosial. Dalam sebuah sekolah yang dicirikan oleh suasana yang empatis, demokratis, partisipatif dan humanis, kesalahan diletakkan dalam proporsi yang sebenarnya dalam rangka, meminjam kalimat Driyarkara, “memanusiakan manusia muda”.
Sebagai subyek, hak anak untuk memperoleh pendidikan harus dilihat dengan pemandangan yang lebih luas. Pendidikan tidak sekedar pemenuhan  hak anak untuk mengikuti pelajaran di sekolah melainkan  juga hak untuk turut serta dalam kehidupan sosio-kultural, baik di dalam maupun di luar sekolah. Implikasi pandangan tersebut  berimbas pada pemahaman bahwa pengajaran formal di sekolah bukan satu-satunya model pembelajaran seperti yang selama ini dipahami. Anak-anak bisa dididik melalui pekerjaan, melalui kegiatan-kegiatan sosial, melalui partisipasi dalam kehidupan kultural, melalui tanggapan-tanggapan emosional, melalui hubungan antar manusia, melalui perjalanan dan olah raga, serta media lain yang sekiranya memungkinkan anak untuk melakukan proses pendidikan alternatif. Dengan demikian pendidikan tidak semata-mata merupakan suatu operasi intelektual kognitif yang berlangsung di dalam batas-batas tembok sekolah.
            Sebagai subyek, hak anak untuk memperoleh pengetahuan harus dilihat dengan kacamata baru. Anak didik diajarkan untuk terbiasa membangun pengetahuan untuk dirinya sendiri dalam suatu konteks sosial. Konsep ini mendasari metode-metode aktif dalam mempelajari lingkungan bagi anak didik. Implikasinya, anak-anak hanya sedikit menggunakan “bahan” dari sumber-sumber luar anak yang merupakan produk kebijakan orang-orang dewasa dan menggunakan semua materi yang dialami anak. Ini memungkinkan berkembangnya kreativitas anak-anak dalam memikirkan fungsi-fungsi lain yang mungkin dimunculkan dalam  suatu hal atau peristiwa di luar konteksnya yang biasa.
            Perlakuan di atas memuat konsekwensi bahwa anak didik harus dididik agar mampu untuk “mendidik dirinya sendiri” dan bahwa anak didik harus berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan lingkungan dan perubahannya. Segala jenis informasi, ketrampilan, dan pengetahuan tidak hanya mengandalkan dari sekolah, karena adakalanya sumber-sumber yang diberikan oleh sekolah tidak mempunyai kelanjutan dan tidak berkaitan dengan pengetahuan yang dijumpai di lingkungan anak. Pengetahuan dari sekolah adalah pengetahuan buatan dari orang-orang dewasa yang justru membentuk lingkungan sekolah (sebagai lingkungan buatan) menjadi asing bagi anak. Alih-alih berakar dari pengalaman anak sendiri, pengetahuan yang asing ini  justru berasal dari pengalaman umat manusia yang telah dirasionalisasikan selama berabad-abad.
            Peran anak didik sebagai subyek menempatkan sekolah sebagai sarana sosialisasi. Didalamnya anak diajari untuk menjadi sebuah bagian dari keseluruhan yang lebih luas. Anak harus ditumbuhkan kesadarannya bahwa ia adalah subyek dalam relasi antar subyek, sehingga anak dapat menyadari posisi dan peran yang sesungguhnya. Bukan melalui serangkaian pengetahuan orang dewasa, namun murni berasal dari pengetahuan yang dibangun oleh anak sendiri. Anak-anak diarahkan untuk menjadi dirinya sendiri, anak didik diarahkan untuk mengetahui potensi apa yang dimiliki dan berbagai macam kemungkinan untuk mengembangkannya. Upaya-upaya penyeragaman, indoktrinasi, dan intimidasi harus dihindari jauh-jauh terutama jika tindakan tersebut dijadikan sebagai alat pembenar upaya guru untuk “mendidik” anak.
Di masa depan, sekolah yang menempatkan anak didik sebagai subyek membuat mereka menjadi individu yang lebih mengandalkan pada pra-karsa sendiri dalam belajar dan membangun pengetahuan. Oleh sebab itu, tempat belajar akan lebih tersebar dan proses belajar akan lebih bergantung pada kemampuan seseorang bukan lagi sekedar tradisi. Bagaimanapun pembelajaran yang hanya didasarkan pada tradisi (dalam hal ini meliputi tradisi pengetahuan yang didapat dari sekolah) tidak akan memunculkan kemandirian dan inisiatif anak didik.
Jelas sudah bahwa melihat anak didik sebagai subyek adalah sebuah keharusan. Agar generasi negeri ini tidak hanya menjadi obyek peradaban. Agar generasi  negeri ini mampu menjadi subyek dalam memberi aksen dan warna pada sejarah peradaban manusia. Bagaimana, sebuah tawaran yang menggiurkan bukan?©

Tidak ada komentar:

Posting Komentar