Jumat, 24 Januari 2014

TANTANGAN DOMESTIFIKASI DAN BIOFILI

Mengapa dalam bahasa Indonesia tidak terdapat frasa “Bapak Pertiwi”, “Bapak Jari”, “Bapak Kota”, dan dalam satu tahun tidak ada satu haripun yang diperingati sebagai Hari Bapak? Tentunya sangat tidak lazim bila lantas dengan alasan bias gender frasa “Ibu Pertiwi”, “Ibu Jari”, “Ibu Kota” lantas diawali dengan kata “Bapak”. 

Ketidaklaziman penggantian frasa ini menunjukkan bahwa ada sebuah posisi maupun peran yang memang menjadi hak seorang ibu dan tidak bisa diganggu-gugat oleh peran seorang bapak. Penggunaan kata “ibu” pada frasa di atas menggaungkan nilai-nilai yang memang mencerminkan idealisasi peran seorang perempuan, baik dalam konteks domestik maupun publik. Ibu pertiwi misalnya, menjadi penanda (signifier) dari sebuah pentanda (signified) ke-ibu-an sebuah bangsa. Petanda inilah yang memuat aspek-aspek biofili dari seorang perempuan yaitu pemelihara, pengayom, pemberi kehidupan yang juga termaktub dalam istilah asah, asih, dan asuh. 


Sebuah bangsa mesti mengedepankan aspek–aspek biofili ini agar tidak terseret dalam jurang kehancuran. Fungsi biofili terkait erat dengan bagaimana seorang perempuan mampu menegaskan jati dirinya terlepas dari eksploitasi nilai-nilai patriarkhis baik yang mewujud dalam bentuk domestifikasi maupun eksploitasi. Tantangan Domestifikasi Di tengah arus modernisasi dan wacana feminisme, masih banyak saja perempuan yang diposisikan marjinal dan terpojok dalam wilayah domestik. Terlebih lagi pada praktek sosial di pedesaan. Banyak warga pedesaan yang menganggap bahwa wilayah publik adalah wilayah laki-laki dan “tabu” bagi perempuan. Dimanapun, wilayah publik selalu diasosiasikan dengan laki-laki. Akses perempuan untuk masuk ke wilayah publik mengalami resistensi yang cukup kuat dari kaum laki-laki dengan berbagai macam alasan yang mengacu pada alasan ketidak-pantasan sosial. 

Penempatan sepihak laki-laki pada sektor publik dan perempuan pada sektor domestik selama ini diterima sebagai kelaziman sosial. Padahal pandangan ini telah memunculkan ketidak-adilan dan berpotensi memunculkan penindasan bagi perempuan. Domestifikasi yang dilakukan oleh kaum laki-laki membuat perempuan menjadi tidak mandiri, inferior, dan kerdil seumur hidupnya karena lingkup dunianya yang serba terbatas. Lebih parah lagi, perempuan hanya dijadikan sebagai obyek hasrat seksual laki-laki semata dan menjadi agen pelestari keturunan. Domestifikasi ini diperparah dengan stereotipisasi sosial yang menempatkan perempuan sebagai satu-satunya pihak yang berkewajiban untuk membesarkan anak-anak dan mengurus tetek-bengek urusan rumah tangga. 

Muncul anggapan bahwa perempuan harus pandai memasak, mampu memberi perhatian dan pelayanan yang sempurna kepada suami agar rumah tangga yang tentram dan sejahtera dapat tercipta. Pandangan ini jelas-jelas berbau patriarkhi, bias gender, mengandung bibit dominasi serta represi domestifikasi yang berlebihan. Perempuan selama bertahun-tahun dibentuk oleh lingkungannya dalam berperilaku, berpikir, dan bertindak. Norma-norma yang mengatur apa yang harus dilakukan oleh seorang perempuan sebagai ibu menjadi alat dominasi laki-laki untuk mengebiri hak-hak perempuan yang ingin maju dan berperan dalam sektor publik. Pandangan stereotip ini terus digunakan, disebarkan, diinternalisasikan, dan disosialisasikan pada gegerasi-generasi baru hingga mendapatkan peneguhan sosial. Ketimpangan inilah yang terus diwariskan dan lantas dianggap sebagai norma-norma baku guna menilai peran seorang perempuan. Munculnya istilah sumur, dapur, dan kasur sebagai olok-olok merupakan penanda bagaimana perempuan hidup dalam dunia laki-laki. 

Oleh karena itu, upaya penegasan peran publik perempuan dan melawan domestifikasi terselubung harus ditegaskan dalam tindakan nyata untuk meminimalisasi ketidak-adilan dalam hal-hal sebagai berikut; 1) menolak marjinalisasi kaum perempuan utamanya dalam dunia kerja. Anggapan-anggapan patriarkhis yang mengatakan bahwa perempuan lemah dan tidak berdaya harus diganti dengan pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan pada prestasi dan kemampuan kerja, 2) Penghilangan sub-ordinasi terhadap perempuan dimana perempuan selalu ditekan pada wilayah domestik. Laki-laki harus mulai bersikap adil dalam melihat perempuan sebagai mitra-sejajar dan bukannya konco wingking. 3) Dihilangkannya stereotip sosial yang muncul terhadap perempuan dan mengkampanyekan kondisi yang sebenarnya dari perempuan dilihat dari perspektif perempuan itu sendiri. 4) Tindakan yang tegas terhadap pelecehan seksual pada perempuan yang akhir-akhir ini tampaknya semakin merebak dengan dijadikannya perempuan sebagai obyek seksual laki-laki dalam berbagai media massa dan ruang-ruang publik, dan. 5). Beban kerja perempuan, dimana perempuan harus mendapatkan hak-haknya dalam dunia kerja tanpa harus mengalami diskriminasi dengan hak-hak yang diberikan kepada laki-laki. 

Antara nekrofili dan Biofili Pekerjaan rumah penting yang perlu mendapat perhatian kaum perempuan dalam rangka memperbaiki citra dalam ranah publik adalah persoalan aborsi. Isu dapat menjadi persoalan gawat yang bisa saja menikam kaum perempuan dari belakang. Di sisi lain, maraknya aborsi menunjukkan bagaimana konsep ke-ibu-an masih belum sepenuhnya dipahami oleh wanita. Sifat-sifat biofili berganti kulit dengan sifat nekrofili yang bersifat merusak dan mematikan. Meskipun tidak adil rasanya jika persoalan aborsi ini hanya dibebankan pada perempuan, karena terkadang pilihan untuk melakukan aborsi justru dipicu oleh tidak adanya tanggung-jawab dari laki-laki meskipun dengan alasan suka-sama-suka. Namun pilihan untuk melakukan aborsi benar-benar mengasingkan pelaku aborsi dari sifat-sifat ke-ibu-an. 

Nah, bukanlah hal mudah bagi perempuan untuk menegaskan eksistensi dirinya dalam ranah publik. Perlawanan terhadap domestifikasi dan juga internalisasi etika keibuan menjadi dua agenda besar yang mesti dilakukan secara simultan. Bukan wonder women yang dibutuhkan, namun perempuan yag menyadari hakikat sifat biofili-lah yang diperlukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar